


Televisi sering disebut sebagai kotak ajaib, telah memberi pengaruh (negatif dan positif) bagi kehidupan umat manusia. Televisi dengan kekuatannya menciptakan dunia yang tidak berjarak. Olehnya, dominasi wilayah dalam ranah politik menjadi tidak bermakna apa-apa. Walau tidak berada di Amerika, kita bisa menyaksikan riuhnya suasana politik di sana tanpa ada yang bisa melarang. Berkat TV, kita seperti memiliki ikatan kultural dan bersimpati dengan salah seorang calon presiden di Amerika, hanya karena yang bersangkutan pernah menetap di Indonesia. Televisi juga menjadi tutor yang andal dalam membentuk watak dan perilaku manusia. TV juga mampu menghipnotis kesadaran pemirsa sehingga terlupa dari kenyataan yang dialaminya. Dengan kata lain, hingga saat ini TV menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia di dunia.
Indonesia patut bersyukur pernah dipimpin seorang pemimpin yang visioner, sang penyambung lidah rakyat. Dialah putra sang fajar, Soekarno. Di bawah kepemimpinannya, upaya pengenalan dan memasyarakatkan TV sebagai jendela informasi mulai dikembangkan.
Pada tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian Nasional Indonesia dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa decade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi “ corong “ pemerintah. Sejak awal keberadaan TVRI, siaran berita menjadi salah satu andalan. Bahkan Dunia dalam Berita dan Berita Nasional ditayangkan pada jam utama.

TV Di Masa Orde Baru
Selanjutnya, Orde Baru bertekad menciptakan pembangunan ekonomi yang kuat dan kehidupan politik yang terkontrol. TVRI di bawah kekuasaan orde ini ditempatkan menjadi mikrofon penyampai aspirasi pemerintah. Acara yang ditayangkan TVRI harus disesuaikan dengan norma, kehendak, dan sistem nilai yang diproduksi rezim. Walaupun di permukaan kehidupan tampak tenang, di balik itu sesungguhnya rakyat merasa tertekan. Ketenangan yang tampak merupakan ketenangan yang dihasilkan dari teror. Seniman yang bisa muncul di layar TVRI hanya seniman yang berafiliasi secara politik dengan rezim. Bagi yang berseberangan jangan harap bisa muncul di TVRI. Kita mungkin masih ingat dengan kasus pelarangan Rhoma Irama bernyanyi di TVRI.
Dalam perkembangannya, TV swasta melahirkan siaran berita yang lebih variatif. Siaran berita yang bersifat straight news, seperti Liputan 6 (SCTV), Metro Malam (Metro TV), dan Seputar Indonesia (RCTI) tidak jadi satu-satunya pakem berita televisi. Kurang dalamnya straight news disiasati stasiun TV dengan tayang depth reporting, yang mengulas suatu berita secara lebih mendalam. Tonggak kedua dunia pertelevisian adalah pada tahun 1987, yaitu ketika diterbitkannya Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor : 190 A/ Kep/ Menpen/ 1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka peluang bagi televisi swasta untuk beroperasi. Seiring dengan keluarnya Kepmen tersebut, pada tanggal 24 agustus 1989 televisi swasta, RCTI, resmi mengudara, dan tahun-tahun berikutnya bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta baru, berturut-turut adalah SCTV ( 24/8/90 ), TPI ( 23/1/1991 ), Anteve ( 7/3/1993 ), indosiar ( 11/1/1995 ), metro TV ( 25/11/2000 ), trans TV ( 25/11/2001 ), dan lativi ( 17/1/2002 ). Selain itu, muncul pula TV global dan TV 7. jumlah stasiun televisi swasta Nasional tersebut belum mencakup stasiun televisi lokal – regional.
Maraknya komunitas televisi swasta membawa banyak dampak dalam kehidupan masyarakat, baik positif atau negatif. Kehadiran mereka pun sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pada satu sisi masyarakat dipuaskan oleh kehadiran mereka yang menayangkan hiburan dan memberikan informasi, namun di sisi lain mereka pun tidak jarang menuai kecaman dari masyarakat karena tayangan-tayangan mereka yang kurang bisa diterima oleh masyarakat ataupun individu-individu tertentu.
Walaupun pemerintah mengizinkan pendirian TV swasta, bukan berarti siapa pun dibebaskan untuk memilikinya. Yang bisa menjadi pemilik TV tetaplah mereka yang menjadi bagian dari klik kekuasaan. Barulah ketika reformasi terjadi di Indonesia pada 1998, benteng pertahanan rezim jebol. TV beramai-ramai menyuarakan aspirasi masyarakat dan menguliti kebusukan rezim.
TV Di Masa Reformasi
Jatuhnya Soeharto berikut orde yang dibangunnya telah membawa perubahan besar di dunia pertelevisian Indonesia. Yang berkuasa atas siaran TV bukan lagi pemerintah dan aparatusnya tetapi bergeser ke pemilik modal. Merekalah yang menentukan format dan isi siaran yang akan ditayangkan TV. Para pemilik modal ini berorientasi pada akumulasi modal dan cenderung abai pada kepentingan publik. Mereka tak pernah mau peduli apakah siaran yang diproduksi TV bermanfaat atau tidak, yang penting bagi mereka siaran itu menghasilkan uang.
Tidak hanya itu. Pada masa reformasi, terjadi pertumbuhan TV di daerah yang begitu pesat, yang disebut TV lokal. Pertumbuhannya merata di berbagai daerah. Di Jawa Timur ada JTV. Di Medan ada Deli TV. Di Bandung ada Bandung TV, Padjadjaran TV, dan STV. Di Bali ada Bali TV. Di Batam ada Batam TV. Di Makassar ada Makassar TV. Ini semua terjadi karena adanya demokratisasi penyiaran dan demokratisasi pengelolaan frekuensi. Pemilik TV tidak lagi menjadi dominasi klik istana tetapi telah menyebar ke berbagai kelompok ekonomi di masyarakat. Dengan adanya fenomena ini keberagaman isi menjadi ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar